Politisasi Birokrasi:
Pola
Hubungan Politik dan Birokrasi di Indonesia
Hubungan
politik-birokrasi di Indonesia pada saat ini menjadi wacana menarik untuk
dicermati. Pola hubungan politik-birokrasi yang diistilahkan oleh beberapa ahli
yakni relasi antara “cinta” dan “benci” menjadi topik yang hangat
diperdebatkan. Politik-birokrasi adalah “dua sejoli” yang dianalogikan sedang “berpacaran”.
Layaknya “orang yang sedang berpacaran” akan selalu ada dua perasaan yang
muncul silih berganti yaitu perasaan “cinta “ dan “benci”. Di satu sisi mereka
ingin selalu berdekatan dan bekerja sama, tetapi di sisi lain ingin saling
menjauh dan berdiri sendiri. Dengan analogi ini maka hubungan politik-birokrasi
ini seperti “dua sisi mata uang”[1], yang tidak bisa dipisahkan (unseparated) tetapi berdiri sendiri (integrated).
Dalam
literatur Administrasi Publik hubungan politik-birokrasi sudah lama dibahas
oleh ilmuwan Administrasi Publik. Jika melihat konteks sejarahnya, Ilmu
Administrasi Publik lahir dan mendapat pengakuan dari para scientist berkat tulisan Woodrow Wilson yang berjudul The Study of Administration yang dimuat
pertama kali oleh The Journal Political
Science Quarterly pada tahun 1887. Menurut Wilson, perlu suatu ilmu untuk
mengkaji masalah administrasi dan membantu menerjemahkan kebijakan-kebijakan
politik. Kemudian, Wilson
berpendapat bahwa politik dan administrasi harus dipisah karena keduanya
memiliki tugas yang berbeda. Pemisahan antara politik-administrasi dimaksudkan
agar birokrasi publik dapat bekerja secara profesional melayani kepentingan
umum (public interest) tanpa dibebani
isu-isu politik.[2]
Pendapat
Wilson diperkuat oleh Frank J. Goodnow, menurut Goodnow ada dua fungsi yang
berbeda dari pemerintah (two distinc
function of government) yaitu politik dan administrasi. Politik menurut
Goodnow, berhubungan dengan kebijakan atau berbagai masalah yang berhubungan
dengan kebijakan negara. Sedangkan administrasi, berkaitan dengan pelaksanaan
(implementasi) kebijakan tersebut[3]. Namun pendapat ini ditentang oleh
Leonald D. White, menurutnya Ilmu Administrasi Publik hanya dapat dijalankan
dengan efektif jika dikawinkan dengan teori pemerintahan.[4] Dari dua pemahaman tersebut kemudian akan
berimplikasi terhadap hubungan politik-birokrasi pada tataran paraktiknya.
Perbedaan
pendapat dari para ahli di atas pada tataran keilmuannya juga memiliki dua
pemahaman yang berbeda. Ada kecenderungan untuk memisahkan Ilmu Politik dan
Administrasi Publik. Orang-orang yang menganut paham ini berpendapat bahwa
antara politik dan administrasi harus dipisahkan, karena politik dan
administrasi tidak bisa dicampuradukkan, begitupun sebaliknya. Di lain pihak, ada
pemahaman yang ingin menyatukan politik dan administrasi dengan argumen bahwa
jika ingin membahas administrasi (birokrasi) mau tidak mau harus mempelajari
politik, dan sebaliknya. Tegasnya, jika ingin mempelajari Teori Administrasi
Publik maka harus paham Teori Politik, maupun sebaliknya. Dari dua pemahaman
ini maka anekdot “dua sejoli yang sedang berpacaran” dan “dua sisi mata uang”
dapat merepresentasikan pola hubungan politik-birokrasi dewasa ini.
Pada
tataran praktisnya, hubungan politik-birokrasi yang ditandai oleh gabungan
perasaan “cinta” dan “benci” sudah berlangsung sejak lama di Indonesia. Jika
dirunut berdasarkan konteks sejarahnya kita bisa memetakannya ke dalam tiga
periode. Pertama, periode
pra-kolonial (kerajaan), pada masa ini, jauh sebelum Indonesia merdeka sudah
eksis kerajaan-kerajaan lokal baik yang bercorak Hindu, Budha dan Islam seperti
kerajaan Kutai, Majapahit, Sriwijaya, Samudera Pasai, Mataram, Gowa-Tallo dan
lain-lain. Pada masa ini kegiatan politik lebih diarahkan pada usaha penaklukan
wilayah-wilayah kerajaan lain untuk
memperluas kekuasaan. Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya misalnya melakukan
ekspedisi hampir ke seluruh wilayah nusantara bahkan sampai ke Negeri Sembilan
(Malaysia), Tahiland dan Vietnam sehingga kedua kerajaan ini disebut sebagai
kerajaan nasional. Raja-raja pada setiap kerajaan memiliki pengaruh yang kuat
terhadap kerajaan-kerajaan kecil lain yang menjadi jajahannya. Namun, di setiap
wilayah jajahan tetap diangkat pemimpin lokal (local leaders), yang disebut juga sebagai bupati, sebagai
perpanjangan tangannya, bupati-bupati tersebut diwajibkan membayar upeti setiap
tahunnya, datang ke kerajaan pada hari-hari dan upacara-upacara tertentu
seperti acara Grebek Maulud sebagai wujud penghormatan kepada raja.[5]
Pola
hubungan politik-birokrasi pada masa kerajaan maujud dengan kuatnya kekuasaan
raja-raja yang berkuasa terhadap aparat dan rakyatnya. Dominannya kekuasaan
raja sebagai pemegang otoritas tertinggi, menjadikan raja sangat berkuasa
sehinggga raja memiliki hak mutlak untuk menetapkan semua aturan yang
menyangkut hajat hidup orang banyak seperi hukum, politik, agama, ekonomi,
sosial dan budaya. Birokrasi pada masa itu hanya mengabdi pada kepentingan raja
dan keluarganya, akibatnya fungsi pelayanan oleh birokrasi tidak menjadi
orientasi tetapi birokrasi lebih bersifat king
oriented.
Kedua, Periode Kolonial (penjajahan).
Dalam literatur-litarartur sejarah diketahui bahwa bangsa asing yang pertama
kali datang ke Indonesia adalah Portugis (1511), kemudian Belanda (1818),
disusul oleh Inggris dan terakhir Jepang (1942). Pada masa penjajahan, pihak
penjajah merupakan penguasa yang mengendalikan semua sendi-sendi kehidupan
bangsa Indonesia. Kebijakan-kebijakan umum ditetapkan secara sentralistis oleh
penjajah dan aparat birokrasi bertanggung jawab menjalankan kebijakan itu.
Aparat-aparat birokrasi, mulai dari hierarki yang tertinggi (Gubernur Jenderal)
hingga jabatan yang terendah seperti kepala desa hanya perpanjangan tangan
penjajah untuk menerapkan kebijakan-kebijakannya kepada rakyat.
Ketiga, periode pasca-kolonial yang
dibagi lagi kedalam tiga era, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Pada dasarnya
pola hubungan politik-birokrasi pada ketiga era ini tidak jauh berbeda. Relasi perasaan “cinta” dan “benci”
mewarnai hubungan politik-birokrasi setelah Indonesia merdeka. Pola hubungan
seperti ini yang kemudian menyebabkan politik dan birokrasi di Indonesia tidak
bebas nilai (unvalue free), sehingga
pola “politisasi birokrasi” lebih merefleksikan hubungan politik-birokrasi di Indonesia.
Para pemimpin yang menjadi penguasa ketiga era tersebut mempunyai style dan cara tersendiri menyangkut
kebijakan politik-birokrasi tergantung kepada pendekatan (approach) yang dipakai dalam menata hubungan politik-birokrasinya. Masa Orde Lama memberikan pengalaman
bagaimana birokrasi dijadikan arena perebutan pengaruh politik antarberbagai
partai politik yang sedang berkuasa. Masa Orde Baru mengajarkan pada Orde Baru
untuk menjadi ‘mesin politik’ yng membuat birokrasi menjadi partisan untuk kepentingan
partai Golkar.[6] Sedangkan pada era Reformasi, politik
akomodasi dalam kabinet dan penempatan pejabat-pejabat politik pada
jabatan-jabatan karier merupakan dinamika umum hubungan politik-birokrasi di
Indonesia. Namun, pada dasarnya politisasi birokrasi lebih mewarnai hubungan
politik-birokrasi di Indonesia sehingga terjadi hubungan yang saling
mempengaruhi.
Tulisan
ini menganalisis tentang pola hubungan politik-birokrasi di Indonesia, terutama
pada masa pemerintahan SBY-JK. Penulis ingin mengidentifikasi dan menganalisis
mengenai politisasi birokrasi yang terjadi pada pemerintahan SBY-JK. Tulisan
ini akan diawali dengan membahas konteks
historis politik-birokrasi pada masa prakolonial, kolonial dan pascakolonial.
Setelah itu, baru dilanjutkan ke politisasi birokrasi pada era Reformasi, yang
didahului dengan paparan mengenai politisasi pada pemerintahan Habibie, Gus Dur
dan Megawati, baru dibahas mengenai politisasi pada pamerintahan SBY-JK.
Konsep Politik dan Birokrasi
Politik pada dasarnya erat kaitannya dengan
kekuasaan (power). Politik merupakan
sarana untuk memaksakan kehendak suatu pihak kepada pihak lain dengan cara-cara
tertantu. Seseorang berpolitik orientasinya adalah memperoleh kekuasaan,
logikanya setelah berkuasa dengan kekuasaan yang dimiliki maka ia akan
menanamkan pengaruhnya kepada orang lain. Anggota DPR misalnya, ia dicalonkan
oleh partainya sehingga ia duduk di legislatif, maka setelah ia menjabat
sebagai legislator maka ia akan
memasukkan kepentingan-kepentingan partainya, kepentingan pribadinya dan
kepentingan constituentnya dalam
setiap kebijakan yang dirumuskan oleh DPR.
Selain
itu, menurut Budiardjo politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh
masyarakat (public goals) dan bukan
tujuan pribadi (private goals).[7] Dengan demikian dapat dipahami bahwa
politik yang dijalankan oleh sutu negara harus dilaksanakan dengan tujuan
menyejahterakan rakyat bukan hanya menguntungkan salah satu pihak. Singkatnya,
politik adalah instrumen untuk mewujudkan tujuan-tujuan seluruh masyarakat.
Konsep-konsep
pokok yang terkait dengan politik adalah:[8]
- Negara (state)
- Kekuasaan (power)
- Pengambilan kebijakan (decesion making)
- Kebijakan (policy)
- Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) kekuasan
Sedangkan
birokrasi secara etimologi berasal dari kata Yunani yaitu biro yang artinya kantor dan krasi
yang artinya pemerintah. Jadi,
secara etimologi birokrasi dapat didefinisikan sebagai kantor pemerintah atau
organisasi pemerintah. Sementara itu, menurut Wrong birokrasi merupakan organisasi yang diangkat
untuk mencapai satu tujuan tertentu dari berbagai tujuan, diorganisir secara
hierarki dengan jalinan komando yang tegas, menciptakan pembagian kerja yang
jelas, peraturan-peraturan umum, karyawan dipilih berdasarkan kompetensi (merit system), dan pekerjaan sebagai
birokrat merupakan pekerjaan seumur hidup.[9]
Tipe Ideal Birokrasi
Ketika membicarakan karakteristik birokrasi kita
tidak bisa berpaling dari Max Weber. Sosiolog asal Jerman ini merupakn orang pertama
yang meletakkan dasar-dasar dan karakteristik organisasi modern yang kemudian
dikenal dengan birokrasi. Menurut Weber ada beberapa karakteristik (ideal type) yang harus dimiliki oleh
birokrasi. Karakteristik
tersebut sebagai berikut:[10]
- Pembagian kerja
§ Adanya job descriptions yang jelas untuk setiap bawahan agar pekerjaan
dapat dilakukan dengan efektif dan efisien.
- Hierarki kewenangan
§ Jenjang kepangkatan yang disusun
secara tegas yang mendiskripsikan kewenangan atasan dan bawahan.
- Formalisasi
§ Aturan-aturan formal yang mengatur
tatahubungan anggota organisasi. Setiap orang dalam organisasi bekerja sesuai
dengan tuntunan yang telah tersedia sehingga pekerjaan-pekerjaan dalam
organisasi dapat dilakukan dengan efektif dan efisien.
4. Impersonal
§ Tidak mengenal adanya hubungan saudara,
pertemanan dan perkoncoan karena pola hubungan didasarkan atas rasionalitas.
5. Penempatan pegawai berdasarkan kemampuan
§ Seleksi pegawai dilakukan dengan ketat
sesuai dengan kompetensinya. Bagi pegawai yang lulus seleksi, penggunaan
standar kompetensi yang ketat, keilmuwan dan keterampilan merupakam syarat yang
harus dipenuhi.
- Jenjang karier bagi pegawai
§ Kenaikan pangkat, pendidikan dan pelatihan
bagi pegawai untuk meningkatkan kemampuannya karena intensitas pekerjaan yang
semakin meningkat dan rumit.
- Kehidupan organisasi dipisahkan dari kehidupan pribadi
§ Organisasi dijalankan tanpa terkooptasi
oleh kepentingan-kepentingan pribadi.
Pada
prinsipnya, tipe ideal birokrasi Weber ditujukan untuk menunjang efisiensi dan
efektivitas organisasi. Di samping itu, tipe ideal Weber sejalan dengan
tuntutan demokrasi. Birokrasi adalah konsekuensi logis dari kehidupan yang
demokratis yang menghendaki objektivitas dan konsistensi kebijakan. Oleh karena
itu birokrasi bersifat impersonal.[11] Sifat-sifat impersonal birokrasi
dibutuhkan agar pelayanan yang diberikan birokrasi kepada masyarakat memenuhi
asas keadilan (equiy) dan terhindar
dari kultur partisan.
Namun,
pada tataran praktisnya di Indonesia tipe ideal birokrasi Weber hanya sebatas
sketsa semata. Tipe ideal birokrasi Weber tidak ditemukan aplikasinya pada
organisasi pemerintah. Bahkan sebaliknya, birokrasi dianggap sebagai simbol
kelambanan, kelalaian, korupsi, tidak efisien dan partisan,[12] sehingga kepercayaan (trust) publik semakin hilang.
Pejabat Politik dan Pejabat Birokrasi
Hadirnya partai politik dalam suatu sistem
pemerintahan akan berpengaruh terhadap tatanan birokrasi pemerintah.[13] Jabatan-jbatan dalam suatu departemen di
Indonesia terdiri dari jabatan politik (non-karier) dan jabatan birokrasi
(karier). Implikasinya adalah, politisi-politisi yang memperoleh kekuasaan
politik melalui pemilihan umum menempati jabatan politik sebagai pimpinan
departemen, sedangkan jabatan di bawahnya seperi jabatan Sekjen, Dirjen dan Irjen
dijabat oleh pegawai-pegawai profesioanal (birokrat karier). Oleh karena itu,
perlu dibedakan natar jabatan politikdan jabatan birokrasi. Perbedaan jabatan
politik dan jabatan birokrasi dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan antara Jabatan Politik dan Jabatan Birokrasi
No
|
Variabel Pembeda
|
Jabatan politik
|
Jabatan Birokrasi
|
1
|
Cara pengangkatan
|
Dipilih melalui pemilu
|
Diangkat berdasarkan kualifikasi tertentu
|
2
|
Masa jabatan
|
Ditentukan
(biasanya 5 tahun)
|
Seumur hidup
|
3
|
Sifat jabatan
|
Sewaktu-waktu bisa diberhentikan
|
Tidak bisa diberhentikan kecuali ybs meminta berhenti
|
4
|
Pertanggungjawaban
|
Bertanggung jawab kepada konstituent yang memilihnya
|
Bertanggung jawab kepada negara
|
Konteks Historis
Politik-Birokrasi di Indonesia
Hubungan politik-birokrasi di Indonesia pada sat
ini tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarahnya. Hubungan itu tidak lahir
dengan sendirinya, tetapi dibentuk oleh sejarah yang telah mendahuluinya.
Kajian historis politik-birokrasi di Indonesia dapat membantu kita memahami
fenomena birokrasi yang terjadi pada saat ini, terutama fenomena politisasi
birokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia pada saat ini. Selain itu,
melalui kajian sejarah kita akan mendapatkan pemahaman mengenai patologi
birokrasi (bereaucrahcy patology)
yang kerap melanda birokrasi publik di Indonesia. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Dwiyanto, dkk keterkaitan sejarah menjadi bagian penting untuk melihat
kemunculan berbagai fenomena dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam tubuh
birokrasi seperti masalah korupsi, kolusi dan nepotisme serta tidak tumbuhnya
budaya pelayanan dalam birokrasi di Indonesia.[14]
Oleh
karena itu, sebelum membahas perkembangan hubungan politik-birokrasi pada saat
ini, maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai konteks historis
politik-birokrasi di Indonesia.
1. Periode Prakolonial (Kerajaan)
Sebelum
Indonesia memproklamirkan diri sebagai sebuah bangsa yang merdeka pada tahun
1945 dan sebelum kedatangan bangsa asing, jauh sebelum itu kira-kira pada abad
ke 16 sudah ada kerajaan-kerajaan yang menghuni wilayah nusantara. Hampir
seluruh wilayah nusantara pada masa itu memiliki kerajaan-kerajaan lokal yang
berdasarkan agama tertentu, baik Hindu, Budha maupun Islam. Namun, hanya ada
dua kerajaan yang dianggap sebagai kerajaan yang bercorak nasional yaitu
Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya. Kedua kerajaan ini disebut sebagai
kerajaan nasional karena wilayah kekuasaannya yang tersebar hampir di seluruh
wilayah nusantara hingga ke luar tanah air. Bahkan, sejarah mencatat bahwa
Majapahit memiliki daerah kekuasaan hingga ke Negeri Sembilan (Malaysia),
Thailand dan Vietnam.
Secara
umum sistem pemerintahan pada masa kerajaan bersifat feodal-sentralistik. Raja
merupakan penguasa tunggal yang harus dipatuhi. Segala keputusan ada di tangan
raja dan rakyat harus melaksanankannya. Birokrasi diorganisir untuk
mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan raja kepada rakyat. Birokrasi pada masa
itu adalah perpanjangan tangan raja untuk memaksakan kehendaknya kepada rakyat.
Ada beberapa ciri yang dimiliki oleh birokrasi pada masa itu (1) Penguasa
menganggap dan menggunakan administrasi publik untuk urusan pribadi, (2)
Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana raja, (3) Tugas pelayanan
yang ditujukan kepada pribadi sang raja, (4) Gaji dari raja kepada pegawai
pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik
sewaktu-waktu sekehendak raja dan (5) Para pejabat kerajaan dapat berbuat
sekehendak hatinya kepada rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja.[15]
Secara
sosiologis, struktur masyarakat pada masa itu terbagi ke dalam dua lapisan,
yaitu golongan priyayi dan wong cilik
(rakyat jelata). Golongan priyayi terdiri atas para pejabat tinggi pusat mulai
dari keluarga raja (pangeran), panglima perang (militer), penasihat raja (patih), kemudian pejabat-pejabat di
bawahnya seperti juru tulis (pejabat administrasi), abdi dalem, para punggawa (hulubalang
istana) dan para bangsawan yang diberi hak istimewa dan pejabat daerah
mulai dari adipati/bupati, kuwu
(kepala daerah), demang (kepala
desa), bekel (kepala kampung),
Sementara itu, wong cilik adalah
rakyat jelata yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa seperti petani, pedagang,
buruh, tukang, orang biasa dan lain-lain.[16] Hubungan kedua lapisan tadi lebih
bersifat patront client di mana wong
cilik tidak memiliki kekuasaan yang berarti. Apabila digambarkan maka struktur
masyarakat pada masa itu akan terlihat seperti pada gambar 1.
Gambar 1. Struktur Masyarakat pada Zaman Kerajaan

Sistem
politik yang dipakai pada masa itu lebih berorientasi kepada kekuasaan dengan
cara perluasan wilayah. Kerajaan-kerajaan besar mencoba melakukan ekspansi ke
luar untuk memperluas wilayahnya. Setelah berhasil, politik ekspansi ini
mengharuskan sang raja menempatkan orang kepercayaannya untuk memimpin wilayah
jajahan. Maka ditunjuklah pemimpin-pemimpin lokal (local leaders) sebagai perpanjangan tangan raja. Pemimpin lokal,
yang disebut bupati, bertugas mengimplementasikan kebijakan-kebijakan raja
kepada rakyatnya. Bupati diberikan keleluasaan oleh raja untuk menjalankan
tugasnya, sehingga tidak sedikit dari para bupati yang bertindak
sewenang-wenang dan bahkan lebih kejam dari raja.. Akhirnya dapatlah diketahui
bahwa politisasi pada masa kerajaan dimaknai dengan lemahnya kedudukan
birokrasi di hadapan raja, akibatnya birokrasi lebih loyal kepada raja
dibandingkan bertanggung jawab kepada rakyat.
2. Periode Kolonial
Bangsa Indonesia pernah dijajah selama
beberapa abad oleh bangsa asing. Bangsa asing yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Portugis (1511),
kemudian Belanda (1818), disusul oleh Inggris dan terakhir Jepang (1942). Pada
awalnya mereka datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, namun lama kelamaan
ingin menguasai. Dalam tulisan ini, yang dijadikan pisau analisis untuk
mengetahui pola politisasi birokrasi pada periode ini hanya pada masa
penjajahan Belanda dengan beberapa pertimbangan. Pertama, Belanda merupakan bangsa yang paling lama menjajah
Indonesia. Kedua, pola hubungan
politik-birokrasi lebih mudah diidentifikasi pada masa ini karena Belanda sudah
menerapkan administrasi pemerintahan yang cukup baik dan rapi di Indonesia.
Kolonialisme
Belanda dimulai dengan munculnya VOC (Verenigde
Oostindische Compagnie) pada tahun 1862, yang merupakan organisasi dagang
Timur Jauh yang diberi wewenang besar untuk mengeksploitasi wilayah dagang atas
nama raja Belanda.[17] Awalnya tujuan VOC datang ke Indonesia
hanya untuk berdagang, kemudian lama-kelamaan niat busuk VOC terungkap. Dimulai
dengan memonopoli rempah-rempah penduduk, meminta tanah untuk mendirikan kantor
hingga akhirnya ingin menguasai seluruhnya.
Melihat
perkembangan VOC yang begitu pesat dan telah menguasai pusat perdagangan
rempah-rempah di Indonesia mendorong kerajaan Belanda di awal abad18
menempatkan seorang Gubernur Jenderal (General
Gouvenour) untuk mengkoordinir wilayah jajahan. Akibatnya, struktur
pemerintahan di wilayah jajahan menempatkan Gubernur Jenderal pada posisi yang
sangat berkuasa atas segala sesuatu urusan di negara jajahan.[18] Gubernur Jenderal diberi kekuasaan untuk
mengatur wilayah jajahan, namun tetap membayar upeti kepada kerajaan Belanda
sebagai bukti kesetiaannya.
Pada
masa itu, Belanda telah menerapkan sistem administrasi modern dalam mengurus
dan mengendalikan wilayah jajahannya, termasuk di Indonesia. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sinambela, bahwa cara-cara yang dipakai Belanda melahirkan
pola birokrasi kolonial yang cukup maju, tanpa mengubah total tatanan yang ada.[19] Selanjutnya menurut Dwiyanto, pada masa
kolonial terdapat dualisme sistem administrasi pemerintahan. Di satu sisi telah
mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi kolonial (Binnenlandsche Bestuur) yang mengenalkan
sistem administrasi dan birokrasi modern, sedangkan pada sisi lain sistem
administrasi tradisional (Inhemsche
Bestuur) masih tetap dipertahankan.[20] Artinya, Belanda tetap memakai jasa-jasa
pegawai pribumi yang berasal dari priyayi untuk kegiatan-kegiatan
birokratis-administratif. Sementara itu, untuk mengawasi mereka diangkat
pejabat Belanda dengan mengambil model Barat dengan jabatan residen, asisten
residen dan countreuler yang
hierarkinya bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal. Apabila digambarkan
maka struktur hierarki pada masa kolonial akan terlihat seperti pada gambar 2
dan 3.
Gambar 2. Struktur Hierarki pada Masa
Kolonial
![]() |
Gambar 3. Struktur Masyarakat pada Masa Kolonial


Pegawai pribumi berkewajiban
melaksanakan (implementator)
kebijakan-kebijakan Belanda kepada masyarakat. Dalam realitanya,
pegawai-pegawai ini lebih berorientasi pada kepentingan kolonial (penjajah)
karena diiming-imingi dengan gaji dan kedudukan, tanpa mereka sadari bahwa gaji
dan kedudukan yang diperoleh telah menyengsarakan rakryat. Seperti yang
dikemukakan oleh Tjokroamidjojo, orientasi dan kondisi kepegawaian pada zaman
penjajahan lebih ditujukan untuk kepentingan penjajah dan demi kepentingan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban belaka.[21] Jadi, dapat dipahami bahwa pola
politisasi birokrasi pada masa kolonial ini terlihat dalam pengangkatan
pejabat-pejabat pribumi (bupati) dari kalangan priyayi (bangsawan) tanpa
kriteria yang jelas dan dominannya orientasi birokrasi pada kepentingan-kepentingan
politik penjajah dibanding melaksanakan fungsi pelayanan (service functions) terhadap publik
3. Periode Pascakolonial (Penjajahan)
Masa
penjajahan Belanda berakhir di Indonesia dan Indonesia secara de facto telah merdeka bersamaan dengan
dibacakannya proklamasi kemerdekaan
Indonesia oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Selanjutnya,
dibentuklah pemerintahan yang berdaulat sebagai pelaksana tujuan-tujuan negara.
Sejak saat itu Indonesia dipimpin oleh rezim-rezim pemerintahan. Adapun rezim
yang pernah berkuasa di Indonesia adalah rezim Orde Lama, Orde Baru dan
Reformasi. Pada bagian ini
akan dibahas mengenai politisasi birokrasi pada era Orde Lama dan Orde Baru,
sedangkan politisasi birokrasi pada era Reformasi akan dibahas pada bab selanjutnya.
3.1 Era Orde Lama
Setelah berakhirnya kekuasan Belanda di Indonesia,
pemerintahan dijalankan oleh Soekarno sebagi presiden dan Hatta sebagai wakil
presiden. Seiring dengan
perkembangan bangsa pada sat itu, sistem pemerintahan selalu mengalami perubahan.
Beberapa kali Indonesia bongkar-pasang sistem pemerintahan. Dimulai dari sistem
presidensial (1945-1949), sistem Parlementer (1949-1950) dan kembali ke sistem
presidensial (1959) hingga sekarang.
Tabel 2. Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia
Periode
|
Konstitusi
|
Bentuk Negara
|
Sistem Pemerintahan
|
18 Agustus 1945- 27 Desember 1949
A. 18 Agt 1945 – 14 Nov 1945
B. 14 Nov 1945 – 27 Des 1949
|
UUD 1945
UUD 1945
|
Kesatuan
Kesatuan
|
Kabinet Presidensial
Kabinet Parlementer
|
27 Des 1949 – 17 Agustus 1950
|
UUD RIS 1949
|
Serikat/Federal
|
Kabinet Parlementer
|
17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
|
UUD 1950
|
Serikat
|
Kabinet Parlementer
|
5 Juli 1959 – Sekarang
A. Orde Lama
5 Juli 1959
– 11 Maret 1966
B. Orde Baru
11 Maret
1966 – 21 Mei 1998
C. Reformasi
21 Mei
1998 – sekarang
|
UUD 1945
UUD 1945
UUD 1945
|
Kesatuan
Kesatuan
Kesatuan
|
Kabinet Presidensial
Kabinet Presidensial
Kabinet Presidensial
|
Sumber: Dimodifikasi dari Budianto (1995: 123).
Politisasi
birokrasi pada era Orde Lama diawali dengan menjamurnya partai politik setelah
keluarnya Maklumat X wakil presiden tanggal 3 November 1945 tentang pembentukan
partai politik. Menguatnya posisi tawar partai politik sedikit banyaknya telah
mempengaruhi birokrasi publik karena hampir semua pegawai berafiliasi dengan
partai politik tertantu sehingga mereka pun terkotak-kotak.[22] Birokrat-birokrat lebih senang berpolitik
praktis dan mengurusi partai politik, daripada melakukan pelayanan kepada
publik, sehingga fungsi pelayanan tidak berjalan sebagaimana mestinya pada masa
itu.
Di
samping itu, diterapkannya bentuk pemerintahan parlementer dan sistem politik
yang mengiringinya pada tahun 1950-1959 membawa konsekuensi seringnya terjadi
pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa bulan. Akibatnya, birokrasi
sangat terfragmentasi secara politik.[23] Pergantian pejabat-pejabat politik (menteri)
secara silih berganti berpengaruh pada birokrasi publik. Menteri-mentri yang
berkuasa dengan leluasa mengangkat pejabat-pejabat birokrasi dan
pegawai-pegawai pemerintah yang berasal dari partainya, sehingga warna
politisasi birokrasi sangat kental terasa pada masa itu. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Thoha, aparat-aparat pemerintah yang diharapkan bersikap
netral sudah pandai bermain mata dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada.[24]
Gambar 4. Konsepsi Revolusi Soekarno

Selain
itu, ideologi revolusi yang diusung oleh Soekarno juga berperan besar dalam
mempolitisasi birokrasi. Keinginan Soekarno untuk mengerahkan seluruh komponen
bangsa, termasuk birokrasi untuk mendukung revolusi yang digagasnya membuat
birokrasi terpolitisasi sedemikian rupa. Ideologi ini kemudian yang ditentang
oleh Bung Hatta yang menginginkan birokrasi profesional dan berfungsi secara
total sebagi public servant. Puncak dari perbedaan pemahaman ini
adalah mundurnya Hatta dari jabatan wakil presiden.[25]
3.2 Era Orde Baru
Pada tanggal 20 Februari 1967,
Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada Soeharto. Penyerahan
kekuasan ini dikukuhkan di dalam Sidang Istimewa MPR. MPRS dalam ketetapannya
No. XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasan Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai
pejabat Presiden RI.[26]
Bersamaan dengan itu, maka berakhirlah pemerintahan Orde Lama di bawah
kepemimpinan Soekarno dan digantikan oleh rezim yang baru yang kemudian dikenal
dengan Orde Baru di bawah komando Soeharto.
Pada dasarnya pola politisasi birokrasi
masih tetap berlangsung, tetapi dengan model yang berbeda. Pada era Orde Baru,
Soeharto menggunakan jargon-jargon stabilitas, ketahanan nasional, pembangunan,
monoloyalitas dan lain sebagainya untuk memperkokoh kekuasaannya. Pendekatan developmentalism yang dipakai oleh Soeharto
inilah yang kemudian menuntunnya untuk memobilisasi seluruh kekuatan yang ada
pada saat itu (Golkar, militer dan birokrasi) untuk mendukung program-program
pembangunan yang dicita-citakannya.
Dampaknya adalah birokrasi terseret ke dalam pergulatan politik
pemerintah, karena birokrasi dijadikan alat yang ampuh oleh pemerintah untuk
mengontrol kehidupan politik rakyat. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan
oleh Kurniawan, bahwa obsesi Orde Baru menciptakan stabilitas ekonomi telah
melahirkan kontrol terhadap kehidupan politik dan merusak netralitas birokrasi.
Birokrasi terseret ke dalam
permainan politik dan bahkan menjadi satu pilar kekuatan politik tertentu.[27] Dengan demikian dapat diketahui bahwa
selama rezim Orde baru berkuasa telah terjadi semacam konspirasi antara
pemerintah dan birokrasi untuk memperkokoh kekuasaan pemerintah.
Gambar 5. Pola Politisasi Birokrasi pada Era Orde Baru

Di
samping itu, kebijakan monoloyalitas yang diterapkan oleh Orde Baru berpengaruh
besar terhadap tumbuh-suburnya politisasi birokrasi di Indonesia. Birokrasi dan militer
dimobilisasi sedemikian rupa untuk mendukung salah satu partai politik
(Golkar), yang tidak mau disebut sebagai partai politik tetapi pada
kenyataannya bepolitik. Pegawai-pegawai pemerintah (PNS) hanya diperbolehkan
meyalurkan aspirasi politiknya kepada Golkar, begitu pula halnya dengan
militer. Sehingga di Golkar
ada tiga pintu yang mencirikan asal simpatisannya yaitu, dari fungsionaris
Golkar sendiri, militer dan birokrasi.[28] Hal ini menjadi dilematis karena
birokrasi publik diperlukan sebagi public
service actor yang netral dan adil, namun pada masa Orde Baru telah
terkontaminasi oleh manufer-manufer politik pemerintah, sehingga birokrasi
dijadikan instrumen untuk mendukung pemenangan partai politik pemerintah.[29]
Politisasi Birokrasi: Sebuah
Fenomena Mutakhir
1. Era Transisi, Gusdur dan
Megawati
Setelah
tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998[30] karena tuntutan dari berbagai kalangan,
yang menginginkan tatanan pemerintahan yang lebih bersih dan adil, maka
muncullah suatu era baru, yang kemudian disebut dengan era Reformasi. Dimulainya era Reformasi ditandai dengan
peralihan kekuasaan dari presiden Soeharto kepada wakil presiden Habibie pada
tanggal 21 Mei 1998[31] dengan landasan pasal 8 UUD 1945. Maka
tampillah Habibie sebagai Presiden RI ketiga. Angin reformasi yang berhembus
pada saat itu, memberikan amanah yang begitu besar kepada Presiden Habibie
untuk memperbaiki tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam tempo yang
cepat. Namun, hal ini tidak bisa dipenuhi oleh Habibie sehingga memaksa MPR
segera melakukan Sidang Istimewa.
Di
samping itu, rasa tidak percaya dari masyarakat bahwa Habibie bisa menjalankan
roda pemerintahan dengan baik juga ikut andil dalam mengakhiri pemerintahannya.
Menurut penulis rasa tidak
percaya tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Habibie masih dianggap sebagai ‘antek-antek’ Golkar,
karena ia merupakan kaki tangan Soeharto ketika Orde Baru masih berkuasa. Kedua, Lambannya penegakan HAM,
supremasi hukum, pemulihan ekonomi dan pengusutan kasus-kasus korupsi mantan
presiden Soeharto dan kroni-kroninya. Ketiga,
kebijakan pemerintahan Habibie yang memberikan opsi merdeka kepada Timor-timur,
sehingga provinsi termuda Indonesia itu akhirnya lepas dari NKRI. Keempat, minimnya ‘jam terbang’ Habibie
berpolitik karena ia lebih dikenal sebagai teknokrat.
Dari
hasil SI MPR tersebut, maka disepakati bahwa pelaksanaan pemilu dipercepat dan
akan dilaksanakan pada tahun 1999. Berkaitan dengan itu, disusunlah UU No. 2
tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik, maka secara otomatis kebijakan penyederhanaan partai politik pada masa
Orde Baru tidak berlaku lagi. Sejak saat itu, Indonesia kemudian kembali ke
sistem multipartai sebagaimana yang pernah dianut sebelumnya.[32] Sejak saat itu, muncullah partai-partai
baru dalam jumlah yang banyak seperti cendawan di musim hujan. Namun, hanya 48
partai politik yang bersaing pada pemilihan umum tahun 1999.
Melalui
pergulatan politik yang cukup panjang, akhirnya Gus Dur (Abdurrahman Wahid)
terpilih sebagai Presiden RI yang keempat, setelah mengalahkan Megawati
Soekarnoputri dengan perolehan 373 suara, sedangkan Megawati hanya mendapatkan
313 suara melalui mekanisme pemilihan oleh parlemen.[33]
Kembalinya
Indonesia kepada sistem multipartai berpengaruh terhadap hubungan
politik-birokrasi di Indonesia karena partai politik mempunyai posisi tawar
yang yang cukup kuat. Posisi partai politik yang menguat tercermin dalam
susunan kabinet yang disusun oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang
dipilih oleh parlemen hasil multipartai pada tahun 1999.[34] Kabinet Gus Dur yang disebutnya dengan
Kabinet Persatuan Pembangunan lebih banyak mengakomodir kepentingan-kepentingan
partai-partai politik yang telah memilihnya, untuk menjaga stabilitas
pemerintahannya. Berbagai upaya telah dilakukan Gus Dur untuk menjaga
eksistensi pemerintahnnya dengan melakukan beberapa kali reshuffle kabinet. Namun, usaha ini tidak berhasil hingga akhirnya
kabinet kemudian tidak lagi mengakomodasi kepentingan partai politik yang telah
mendukungnya. Akibatnya, Gus Dur diimpeachment
oleh MPR dan pada tanggal 23 Juli 2001 SI MPR mencabut mandat Gus Dur
sebagai presiden.[35]
Pada
tanggal 23 Juli 2001 Megawati Soekarnoputri dikukuhkan sebagai presiden dan
sehari sesudahnya Hamzah Haz terpilih sebagai wakil presiden.[36] Namun, jika dibandingkan dengan Gus Dur
Megawati sedikit lebih beruntung karena dapat menjalankan pemerintahannya
hingga akhir masa jabatannya
Satu
hal yang perlu dicatat bahwa pola politisasi birokrasi tetap mewarnai
pemerintahan Megawati. Belajar dari pengalaman pendahulunya (Gus Dur), Megawati
lebih berhati-hati dalam menyusun kabinetnya. Politik akomodatif masih tetap
dipertahankan guna menghindari instabilitas kepemimpinannya dengan mengkooptasi
kepentingan-kepentingan partai politik yang ada. Dampaknya adalah sistem
politik Indonesia telah mengkolaborasikan sistem presidensial dan sistem
parlementer karena parlemen (politik) telah mengintervensi presiden dalam
menetapkan susunan kabinetnya (birokrasi).
2. Politisasi pada Pemerintahan SBY-JK
Pada
tanggal 4 oktober 2006 Pasangan SBY-JK ditetapkan oleh KPU sebagai presiden dan
wakil presiden terpilih untuk periode 2004-2009 setelah unggul dengan perolehan
69.266.350 suara (60,62 %) atas pasangan Megawati-Hasyim Muzadi yang hanya
memperoleh 44.990.704 suara (39,38 %).[37] Setelah dua tahun kepemimpinan SBY-JK
(2004-2006), pola politisasi birokrasi warisan pendahulunya tetap
dilestarikannya.
Untuk
mengidentifikasi politisasi birokrasi pada pemerintahan SBY-JK, maka menurut
penulis ada beberapa pisau analisis (knife
of analisis) yang dapat digunakan.
2.1 Analisis Komposisi dan Koalisi di Parlemen serta Isu-isu Kontemporer
Implikasi dari sistem multipartai yang kembali
dipakai Indonesia adalah kompleksnya komposisi partai politik yang mengisi
parlemen (DPR). Hal ini berbeda jika dibandingkan pada masa Orde Baru berkuasa,
di mana parlemen pada umumnya diisi oleh Golkar yang selalu meraih suara
mayoritas dalam setiap pemilu yang digelar. Sedangkan pada saat ini, ketika
partai politik kontestan pemilu semakin banyak, sehingga tidak ada suara
mayoritas di DPR karena perolehan suara yang menyebar hampir ke setiap partai.
Pada bagian ini akan dianalisis komposisi anggota parlemen hasil pemilu 2004
dan hubungannnya dengan politisasi birokrasi.
Tabel 4. Perolehan Kursi Partai Politik DPR Hasil
Pemilu 2004
No.
|
Nama Partai
|
Jumlah Suara
|
%
|
Kursi
|
1
|
PNI Marhaenisme
|
906,739
|
0.80
|
1
|
2
|
Partai Buruh Sosial Demokrat
|
634,515
|
0.56
|
0
|
3
|
Partai Bulan Bintang
|
2,965,040
|
2.62
|
11
|
4
|
Partai Merdeka
|
839,705
|
0.74
|
0
|
5
|
Partai Persatuan Pembangunan
|
9,226,444
|
8.16
|
58
|
6
|
Partai Pers. Demok. Kebangsaan
|
1,310,207
|
1.16
|
4
|
7
|
Partai Perhimpunan
Ind. Baru
|
669,835
|
0.59
|
0
|
8
|
Partai Nas. Banteng Kemerdekaan
|
1,228,497
|
1.09
|
0
|
9
|
Partai Demokrat
|
8,437,868
|
7.46
|
55
|
10
|
Partai Keadilan dan Pers.
Ind.
|
1,420,085
|
1.26
|
1
|
11
|
Partai Penegak Demokrasi Ind.
|
844,480
|
0.75
|
1
|
12
|
Partai Persatuan Nahdatul Ulama
|
890,980
|
0.79
|
0
|
13
|
Partai Amanat Nasional
|
7,255,331
|
6.41
|
53
|
14
|
Partai Karya Peduli Bangsa
|
2,394,651
|
2.12
|
2
|
15
|
Partai Kebangkitan Bangsa
|
12,002,885
|
10.61
|
52
|
16
|
Partai Keadilan Sejahtera
|
8,149,457
|
7.20
|
45
|
17
|
Partai Bintang Reformasi
|
2,944,529
|
2.60
|
14
|
18
|
PDI Perjuangan
|
20,710,006
|
18.31
|
109
|
19
|
Partai Damai Sejahtera
|
2,424,319
|
2.14
|
13
|
20
|
Partai Golongan Karya
|
24,461,104
|
21.62
|
128
|
21
|
Partai Patriot Pancasila
|
1,178,738
|
1.04
|
0
|
22
|
Partai Sarikat Indonesia
|
677,259
|
0.60
|
0
|
23
|
Partai Persatuan Daerah
|
656,473
|
0.58
|
0
|
24
|
Partai Pelopor
|
896,603
|
0.79
|
3
|
|
Total
|
113,125,750
|
100.00
|
550
|
Sumber: KPU, 2004; CETRO,
2004 (Kumorotomo, 2005B: 16)
Pemilu
legislatif yang digelar pada tanggal 5 Juli 2004 diikuti oleh 24 kontestan
paserta pemilu. Namun, dari hasil akhir pemilihan anggota DPR tersebut
diketahui tidak ada partai yang memperoleh suara mayoritas (lihat tabel 4).
Akibatnya adalah tidak adanya kesatuan suara di DPR sehingga pembentukan
koalisi-koalisi di DPR merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari (rasion de etre). Maka atas prakarsa
Akbar Tadjung dibentuklah koalisi kebangsaan yang terdiri dari gabungan
politisi PDI-P, Golkar dan beberapa partai lainnya yang beroposisi dengan
pemerintah dan koalisi kerakyatan yang didukung oleh gabungan Partai Demokrat,
partai-partai Islam dan gabungan anggota DPD.[38]
Terpolarisasinya parlemen ke dalam dua
koalisi ini ikut mempengaruhi pemerintahan dan kebijakan yang akan diambil oleh
presiden (SBY). Dalam menetapkan calon panglima ABRI saja misalnya keinginan
SBY untuk mempertahankan Jenderal Endriartono Soetarto sebagai panglima ABRI
tidak terealisasi karena tidak ‘direstui’ oleh DPR sehingga SBY berpaling
kepada Marsekal Djoko Suyanto. Artinya, politisi di DPR telah melakukan
intervensi terhadap pemerintah dalam menetapkan kebijakan, padahal kebijakan
tersebut merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala negara.
Di
samping itu, polarisasi anggota DPR ke dalam koalisi kebangsaan dan koalisi
kerakyatan berdampak juga terhadap tarik-ulur kebijakan yang dirumuskan oleh
DPR. UU tentang Dewan Penasihat Presiden (DPP) contohnya, telah disyahkan oleh
DPR baru-baru ini. Dengan disayahkannya UU tersebut maka secara otomatis UKP3R
(Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi) yang telah
dibentuk oleh presiden dengan Keppres No. 17 Tahun 2006 dibubarkan dan dilebur
ke dalam DPP. Adapun partai yang paling vokal membahas masalah ini adalah
fraksi PDI-P, Fraksi PKB, Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Partai Amanat
Nasional yang notabene adalah anggota
koalisi kebangsaan.[39] Menurut analisis penulis, koalisi
kebangsaan di DPR telah berhasil menggagalkan kebijakan presiden membentuk
UKP3R.
2.2 Analisis Komposisi Kabinet Indonesia Bersatu
Setelah resmi menjadi menjadi Presiden RI keenam
pemerintahan SBY-JK segera menyusun kabinetnya. Kabinet yang telah disusun
tersebut kemudian dinamai dengan Kabinet Indonesia Bersatu dan diumumkan kepada
publik pada tanggal 20 Oktober 2004. Akan tetapi, politik akomodatif warisan
Gus Dur dan Megawati ketika memerintah tidak bisa dilepaskan oleh pemerintahan
yang baru. Seperti yang diungkapkan oleh Kumorotomo, melalui pergulatan politik
internal diantara aktor-aktor lingkaran dalam pemerintah SBY mengumumkan
susunan kabinetnya. Politik akomodasi SBY tampak sekali dalam daftar nama
kabinet tersebut.[40] Meskipun pemilihan dan pengangkatan para
menteri-menterinya merupakan hak prerogatif presiden yang dijamin oleh
konstitusi, akan tetapi SBY tidak bisa objektif dalam menetapkan susunan
kabinetnya. Politik ‘balas budi’ harus dilakukan dengan mengangkat orang-orang
dari partai politik yang telah berkoalisi dengan partainya ketika pemilu
putaran kedua diselenggarakan. Eksesnya adalah “kabinet pelangi”[41] merefleksikan wajah Kabinet Indonesia
Bersatu. Selajutnya, dampak yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari
terbentuknya kabinet kompromi tersebut yaitu politisasi dalam banyak aspek
pemerintahan.
Dari komposisi kabinet, tampak
jelas politik akomodasi yang dilakukan oleh SBY-JK baik sebelum direshuffle maupun setelah direshuffle. Partai Demokrat yang berhasil
memenangkan pasangan SBY-JK dalam pemilu presiden dua tahun silam hanya
mendapat jatah dua buah kursi di kabinet Indonesia Bersatu. Hal ini dapat
dimaklumi karena jatah kursi di kabinet harus dibagi-bagi lagi kepada partai-partai
politik lain yang telah berjasa memenangkan pasangan SBY-JK melalui koalisi
yang telah dilakukan dengan Partai Demokrat pada pemilu presiden. Di samping
itu, Pengaruh partai-partai politik pendukung SBY-JK cukup kentara dalam
formasi kabinet. Tercatat bahwa ada enam orang menteri yang masuk karena
jasanya sebagi tim sukses atau pendukukung Partai Demokrat.[42]
Selain itu, politik safety search juga berlangsung, jika
kita melihat hasil reshuffle pertama
kabinet Indonesia Beratu. Dengan dalih ingin mengoptimalkan kinerja kabinet,
SBY mereshuffle kabinetnya. Namun, ada keganjilan yang kita temukan dari hasil reshuffle tersebut. Abu rizal Bakrie
(menteri perekonomian), Siti Fadilah Supari (menteri kesehatan) dan yusuf Anwar
(menteri keuangan) yang sebelumnya santer diberitakan oleh media massa sebagai
menteri yang akan dipecat karena kinerja mereka yang kurang memuaskan. Aburizal
Bakrie dan Yusuf Anwar dinilai gagal oleh banyak ekonom telah gagal mengangkat
laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, sedangkan Siti Fadilah Supari dinilai
lamban dalam menangani masalah flu burung di Indonesia. Namun, Abu Rizal Bakrie
dan Siti Fadilah Supari tetap dipertahankan oleh SBY.
Selanjutnya dari hasil reshuffle perrtama Kabinet Indonesia
Bersatu hanya tiga orang menteri yang benar-benar diberhentikan dari
jabatannya. Pertama, Alwi Shihab
(menko kesra), kedua Andung
Nitimihardja (menteri perindutrian) dan ketiga
Yusuf Anwar (menteri keuangan). Namun, khusus untuk Alwi Shihab ia diminta
oleh SBY untuk menjadi utusan khusus presiden untuk Timur Tengah. Sedangkan
tiga orang men-
Tabel 5. Komposisi Kabinet Indonesia Bersatu
No.
|
Jabatan
|
Nama
|
Latar belakang
|
1
|
Menko
Pol. Huk. dan Kea.
|
Widodo A.S
|
Militer (Angkatan Laut)
|
2
|
Menko Perekonomian
|
Budiono
|
Akdemisi
|
3
|
Menko Kesra
|
Aburizal Bakrie
|
Pengusaha, Golkar
|
4
|
Menteri Sekretaris Negara
|
Yusril Ihza Mahendra
|
PBB
|
5
|
Menteri Dalam Negeri
|
M. Ma’ruf
|
Militer (AD), Ketua Tim Sukess SBY-JK
|
6
|
Menteri Luar Negeri
|
Hasan Wirayuda
|
Diplomat Karir
|
7
|
Menteri Pertahanan
|
Juwono Sudarsono
|
Akademisi
|
8
|
Menteri Hukum dan HAM
|
Hamid Awaludin
|
Mantan
anggota KPU, pendukung Golkar dari Makassar
|
9
|
Menteri Keuangan
|
Sri Mulyani Indrawati
|
Akademisi
|
10
|
Menteri Pertamb. dan Energi
|
Purnomo Yusgiantoro
|
Profesional
|
11
|
Menteri Perindustrian
|
Fahmi Idris
|
Golkar
|
12
|
Menteri Perdagangan
|
Marie Elka Pangestu
|
Peneliti CSIS
|
13
|
Menteri Pertanian
|
Anton Apriantono
|
PKS
|
14
|
Menteri Kehutanan
|
M.S Kaban
|
PBB
|
15
|
Menteri Perhubungan
|
Hatta Radjasa
|
PAN
|
16
|
Menteri Kelautan dan Perika.
|
Freddy Numberi
|
Militer dari Papua
|
17
|
Menteri Ten. Kerja dan Trans.
|
Erman Suparno
|
|
18
|
Menteri Pekerjaan Umum
|
Joko Kirmanto
|
Profesional
|
20
|
Menteri Pendidikan Nasional
|
Bambang Sudibyo
|
PAN
|
20
|
Menteri Pendidikan Nasional
|
Bambang Sudibyo
|
PAN
|
21
|
Menteri Sosial
|
Bachtiar Chamysah
|
PPP
|
22
|
Menteri Agama
|
M. Maftuh Basyuni
|
Pendukung dari NU
|
23
|
Menteri Kebud. dan Pariwisata
|
Jero Wacik
|
Partai Demokrat
|
24
|
Menteri Riset dan Teknologi
|
Kusmayanto Kadiman
|
Akademisi, ITB
|
25
|
Menteri Koperasi dan UKM
|
Suryadarma Ali
|
PPP
|
26
|
Menteri Lingkungan Hidup
|
Rachmat Witoelar
|
Pengusaha, Golkar
|
27
|
Menteri Pemberd. Perempuan
|
Meutia Farida Hatta
|
Akademisi, Partai Keadilan dan Persatuan
|
28
|
Menteri Pendy. Aparatur Neg.
|
Taufiq Effendi
|
Parati Demokrat
|
29
|
Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
|
Syaifullah yusuf
|
PKB
|
30
|
Menteri Perenc. Pemb Nasio.
|
Paskah Suzetta
|
Profesional
|
31
|
Menteri BUMN
|
Sugiharto
|
PPP
|
32
|
Menteri Kom. dan Inform.
|
Sofyan Djalil
|
Tim Sukses SBY-JK
|
33
|
Menteri Pemuda dan Olahraga
|
Adhyaksa Dault
|
PKS, mantan ketua KNPI
|
34
|
Menteri Perumahan Rakyat
|
M. Yusuf Ashari
|
PKS
|
35
|
Sekretaris Kabinet
|
Sudi Silalahi
|
|
36
|
Jaksa Agung
|
Abdurrahman Saleh
|
Profesional
|
Sumber: Kumorotomo
(2005B: 20-21) dengan penyesuaian hasil reshuffle
pertama
Tabel 6. Pergeseran Jabatan
pada Reshuffle Pertama
Kabinet Indonesia Bersatu
No.
|
Jabatan
|
Pejabat Sebelumnya
|
Pejabat Sekarang
|
1
|
Menko Perekonomian
|
Abu Rizal Bakrie
|
Budiono
|
2
|
Menko Kesra
|
Alwi Shihab
|
Abu Rizal Bakrie
|
3
|
Menteri Keuangan
|
Yusuf Anwar
|
Sri Mulyani Indrawati
|
4
|
Menteri Perindustrian
|
Andung Nitimihardja
|
Fahmi Idris
|
5
|
Menakertrans
|
Fahmi Idris
|
Erman Suparno
|
6
|
Meneg PPN
|
Sri Mulyani Indarawati
|
Paskah Suzetta
|
teri yang benar-benar diberhentikan dari
jabatannya. Pertama, Alwi Shihab
(menko kesra), kedua Andung
Nitimihardja (menteri perindutrian) dan ketiga
Yusuf Anwar (menteri keuangan). Namun, khusus untuk Alwi Shihab ia diminta
oleh SBY untuk menjadi utusan khusus presiden untuk Timur Tengah. Sedangkan
tiga orang menteri lainnya hanya berpindah jabatan. Pertama, Abu Rizal Bakrie yang sebelumnya menjabat sebagai menteri
perekonomian dipindahkan ke menteri kesejahteraan rakyat. Kedua, Sri Mulyani Indrawati dari jabatan menteri negara
perencanaan pembangunan nasional ke jabatan menteri keuangan. ketiga, Fahmi Idris dari jabatan menteri
tenaga kerja dan transmigrasi menjadi menteri perindustrian. Sementara itu,
muka-muka baru yang dipasang SBY hanya tiga orang yaitu Budiono (menteri
perekonomian), Erman suparno (menakertrans) dan Paskah Suzetta (menteri
perencanaan pembangunan nasional).
Dari
hasil reshuffle kabinet Indonesia
beratu dapat diketahui bahwa: (1) SBY sangat berhati-hati sekali dalam meyusun
kembali kabinetnya, agar tetap dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan
partai politik pendukungnya sehingga pemerintahan tetap berjalan dengan stabil,
(2) Ia tidak mau terlalu radikal dalam mereshuffle
kabinetnya, (3) SBY sangat menjaga eksitensi pemerintahannya dengan hanya
mengganti tiga orang menteri saja, (4) SBY tidak mau hubungan baiknya dengan
partai politik pendukungnya menjadi rusak hanya karena reshuffle kabinet karena dapat membahayakan posisinya.
2.3 Analisis Hubungan Golkar, Jusuf Kalla dan Pemerintah
Pada pemilu legislatif tahun 2004
silam tampilnya Golkar sebagai pemenang dengan perolehan 21% suara merupakan
sebuah kejutan besar. Partai yang ingin dibubarkan oleh kalangan reformis pada
masa transisi ini, ternyata menemukan kembali jati dirinya pada pemilu
legislatif 2004. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Kumorotomo,
bahwa pemilu legislatif menunjukkan kembalinya kekuatan partai Golkar yang
pernah berjaya pada Orde Baru dengan perolehan suara sebesar (21,6%), diikuti
oleh PDI-P dengan perolehan (18,3%) suara, PKB (10,6%), PPP (8,2%), Partai
Demokrat (7,5%), PAN (6,4%) dan partai-partai lainnya.[43]
Selanjutnya, menurut Kumorotomo, ada dua kemungkinan yang meyebakan kembalinya
Golkar sebagai partai yang merupakan mesin politik orde Baru. Pertama, banyak masyarakat di tingkat
bawah yang merindukan kembalinya stabilitas dan taraf hidup yang relatif lebih
baik seperti pada masa Orde Baru. Kedua, Kemenangan Golkar menunjukkan bahwa mesin partai
politik ini di daerah masih sangat kuat dan menentukan.[44]
Kembalinya Partai Golkar sebagi
patai pemenang pemilu mengharuskannya mencari seorang sosok pemimpin yang dekat
dengan pemerintah yang bisa membimbing partai ini kembali ke masa-masa
kejayannya seperi dulu. Dalam Musyawarah Nasional (Munas) Golkar yang
diselenggarakan pada pertengahan Desember 2004, Memilih Jusuf Kalla sebagai
ketua umum partai itu menggantikan Akbar Tandjung.[45]
Terpilihnya Jusuf Kalla sebagai ketua umum Golkar merupakan sebuah siasat
politik yang dimainkan oleh Golkar sebagai batu loncatan, karena Jusuf kalla
saat ini menjabat sebagai wakil presiden. Golkar membutuhkan seorang pemimpin
yang dekat dengan pemerintah untuk mendukung konsistensi partainya dan
terpilihnya jusuf Kalla merupakan pilihan yang tepat. Terpilihnya Jusuf Kalla
telah menyeret haluan politik Golkar sebagai partai politik pendukung
pemerintah (government supporter). Tidak ada pilihan lain kecuali mendekat
kepada orang-orang yang sedang berkuasa. Namun, setelah dua tahun kepemimpinan
SBY-JK mulai muncul riak-riak kecil memgiringi pemerintahannya. Dalam Rapat
Pimmpian Nasional (rapimnas) Golkar yang diselenggarakan pada tanggal 13-16
November 2006, daerah mengangkat wacana reshuffle
kabinet yang kedua. Bahkan, beberapa Dewan Pimpinan Daerah (DPD) berniat
menarik dukungannya terhadap pemerintahan SBY karena kekecewaan beberapa DPD di
daerah karena SBY tidak mengikutsertakan Jusuf Kalla dalam membentuk Unit kerja
Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R).[46] Akan tetapi, permasalahan ini dapat
segera diatasi dengan dikeluarnya hasil rapimnas pada tanggal 16 November 2006
bahwa Partai Golkar tetap menyatakan diri sebagai partai politik pendukung
pemerintah
Gerak
politik Golkar yang selalu ingin mendekat dengan para penguasa ini menarik
untuk dicermati. Ternyata, Golkar masih melestarikan budaya politik (politcal culture) mereka selama Orde
Baru dulu. Sikap selalu beriringan dan saling mendukung dapat dilihat dari pola
politik Golkar saat ini.
Penutup
Secara umum dapat disimpulkan bahwa politisasi
birokrasi di Indonesia telah berlangsung sejak lama, hingga saat ini. Dimulai
dari periode prakolonial (kerajaan), kolonial (penjajahan) dan pascakolonial.
Politisasi birokrasi pada masa kerajaan mengambil bentuk dari lemahnya posisi
tawar birokrasi terhadap raja, karena dominannya kekuasaan raja. Akibatnya,
birokrasi lebih berorientasi kepada kepentingan raja dan keluarga raja,
dibandingkan melayani rakyat. Pada periode kolonial, kuatnya dominasi penjajah
Belanda telah berimplikasi menyebabkan terjadinya politisasi birokrasi. Belanda
memiliki otoritas penuh untuk memilih pejabat-pejabat pribumi (birokrat) dari
kalangan priyayi untuk menerapkan kebijakannya kepada rakyat. Rakyat semakin
menderita karena birokrasi publik sebagai aktor pelayanan publik (public service actor) lebih mengabdi
kepada kepentingan-kepentingan Belanda
ketimbang melayani rakryat.
Sedangkan, pada masa Orde Lama
gerakan revolusi yang dirancang oleh Soekarno membuat birokrasi ikut terseret
dalam permainan politik pemerintah, sehingga birokrasi menjadi tidak bebas
nilai (unvalue free). Selanjutnya,
Pada masa Orde Baru dominannya kekuasaan presiden yang ditopang oleh kekuatan
militer dan birokrasi mengharuskan birokrasi bersikap loyal terhadap pemerintah
yang sedang berkuasa. Monoloyalitas
yang telah diterapkan, memaksa birokrasi untuk memainkan peranan politiknya
secara intens. Pada era Reformasi, dengan diterapkannya sistem
multipartai di Indonesia berdampak pada kuatnya posisi tawar partai politik di
parlemen. Sehingga Gus Dur, Megawati dan SBY di dalam kabinetnya harus
mengakomodasi kepentingan-kepentingan partai-partai politik yang telah memilih
dan mendukungnya. Penentuan susunan kabinet yang merupakan hak prerogatif
presiden tidak dapat terwujud secara nyata karena SBY harus mengakomodasi pihak-pihak
yang telah mendukungnya untuk menjamin
stabilitas pemerintahannya.
Referensi
Budianto. 1995. Tata Negara untuk Kelas 3 SMA. Jakarta: Erlangga.
Budiardjo, Miriam. 2005. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Dwiyanto, Agus, dkk.. 2006.
Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Gaffar, Afan. 1999. Politik
Indonesia: Tansisi menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Henry, Nicholas. 1988. Administrasi
Negara dan Masalah-masalah Kenegaraan. Jakarta: Rajawali Pers.
I Wayan Badrika. 2000. Sejarah
Nasional dan Umum untuk kelas 3 SMA. Jakarta: Erlangga.
Kumorotomo, Wahyudi. 2005A. Akuntabilitas
Birokrasi Publik: Sketsa pada Masa Transisi.
Yogyakarta: Kerjasama antara MAP-UGM dan Pustaka Pelajar.
Kumorotomo, Wahyudi. 2005B.
“Perkembangan Demokrasi dan Pengaruhnya terhadap Birokrasi Publik”. Birokrasi Publik dalam Sistem Politik
Semi-Parlementer. Editor: Erwan Agus Purwanto dan Wahyudi Kumorotomo. Yogyakarta: Gava Media.
Kumorotomo, Wahyudi. 2005C.
“Format pembiayaan Publik dalam Sistem Semi-Parlementer”. Birokrasi Publik dalam Sistem Politik Semi-Parlementer. Editor: Erwan
Agus Purwanto dan Wahyudi Kumorotomo. Yogyakarta: Gava Media.
Kurniawan, Agung. 2005. Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pembaruan.
Mufiz, Ali. 2004. Materi Pokok Pengantar Ilmu Administrasi
Negara. Jakarta:
Pusat Penerbitan Universitas Terbuka Depdiknas
Partini dan Bambang
Wicaksono. 2004. “Chitizens’ Caharters: Terobosan Baru Penyelenggaraan
Pelayanan Publik di Indonesia”. Makalah
yang disampaikan pada Diskusi Bulanan PSKK UGM.
Purwanto, Erwan Agus dan Wahyudi Kumorotomo. 2005. Birokrasi
Publik dalam Sistem Politik
Semi-Parlementer. Yogyakarta: Gava Media.
Robins, Sthepen P. 1994. Teori
Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Penerjemah:
Yusuf Udaya. Jakarta: Arcan.
Samodra, Wibawa. 2005. Reformasi
Administrasi: Bunga Rampai Pemikiran Administrasi
Negara/Publik. Yogyakarta: Gava Media.
Sinambela, Lijan Poltak,
dkk.. 2006. Reformasi Pelayanan Publik:
Teori, Kebijakan dan Implementasi.
Jakarta: Bumi Aksara.
Soebhan, Syafuan Rozi. 2006. “Model Reformasi Birokrasi Indonesia”. Makalah dalam
www.google.co.id yang
diakses pada tanggal 24 November 2006.
Subarsono, A.G. 2005. “Pelayanan Publik yang Efisien, Responsif dan Non Partisan”. Mewujudkan Good Governance
Melalui Pelayanan Publik. Editor: Agus Dwiyanto.
Yogyakarta: Gadjah
Mada University
Press.
Thoha, Miftah. 2004. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Thoha, Miftah. 2005. Dimensi-dimensi
Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali
Pers.
Tjokroamidjojo, Bintoro. 1995. Pengantar
Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Surat Kabar
Haluan, edisi Jumat 8 Desember
2006.
Kompas, edisi Senin 1 Mei 2006.
Media Indonesia, edisi Selasa 7
November 2006.
Media Indonesia, edisi 13 November
2006.
terima kasih informasinya.
BalasHapuswww.kiostiket.com
Kadytan | Online Casino & Sports Betting | Kadang Pintar
BalasHapusKadytan is an online casino game provider หาเงินออนไลน์ that is powered kadangpintar by 메리트카지노 YSK. Bet online and win real money playing online slots, blackjack, and more!